Change Your Mind!

Oleh: Fathiya Ainun Zahira

 “Rere, ayo!” Fira, temanku, memanggilku untuk bersama-sama pergi ke tenda. Hari ini merupakan hari pertama Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) kami setelah menjadi murid SMP. Kami berbaur dengan murid kelas tujuh lainnya. Pembagian tenda baru saja diumumkan. Aku dan Fira beruntung berada dalam satu tenda. Tetapi kami belum tau apakah kami akan sekelompok. Katanya, pengumumannya akan dilakukan di tenda.
“Permisi, Assalamualaikum,” sapa Kak Vanda, salah seorang pembina kami.
“Waalaikumusalam,” jawab kami.
“Disini kakak mau membagi kelompok. Dengarkan baik-baik ya!”
Aku dan yang lain langsung diam dan duduk menghadap Kak Vanda. “Untuk tenda tiga, ada kelompok Evergreen, ketuanya Shinta, anggotanya Wanda, Fani, Fira, Rere dan Nanda. Dan untuk kelompok Nederland, ketuanya Nadira, anggota Diva, Melinda, Dewi, dan Nindi,kata Kak Vanda membaca kertas di tangannya.
“Yes, kita sekelompok,” responku kepada Fira dan langsung bertoss tangan.
“Kak! Kelompoknya gak bisa diganti apa?!” Tiba-tiba Shinta bertanya dengan ketus kepada Kak Vanda diikuti tatapan sinis kepada kami. Seketika suasana menjadi sepi dan tegang.
“Tidak bisa, kelompoknya sudah fix dan tidak bisa diubah lagi,” jawab Kak Vanda yang mulai terasa panas karena ucapan Shinta tadi. Shinta hanya cemberut.
“Kak, itu gak adil. Mereka aja boleh sekelompok sama temennya masa Aku enggak?! ” katanya memelas sambil menatap kepada kami.  
“Jangan ada yang protes,  nama kelompok dan anggotanya sudah dibagi rata oleh panitia, kakak hanya mengumumkan saja,” jawab Kak Vanda yang mulai reda amarahnya dan langsung pergi. Shinta yang merasa tidak diperhatikan hanya melirikku dan Fira dengan tatapan tidak suka. Kami tidak memerdulikannya dan melanjutkan merapihkan tenda.
Tiba-tiba sirine berbunyi dari tengah lapangan.
“Kumpul, kumpul! Kita mau main game!” Anak-anak dari tenda lain berlarian keluar mendengar sirine berbunyi.
“Game apa?”
“Katanya tarik tambang!”
Aku dan Fira langsung berpandangan. Tarik tambang?
“Ihhh… kok tarik tambang.” Shinta berteriak kesal. Tiba-tiba ia menatap kami dan Nanda.”Pokoknya, gue nggak sudi jadi ketua kelompok lo!” katanya dan berlari keluar tenda. Tapi ternyata dia bukan berlari ke lapangan tempat berkumpul melainkan ke tenda PMI. Sepertinya dia berpura-pura sakit.
“Ih, nyebelin banget sih tuh orang!” kataku.
“Jadi gimana nih?” tanya Nanda. Matanya sudah merah menahan tangis.
“Udah, ke lapangan aja. Biarin aja dia pura-pura sakit. Ntar kena batunya, sakit beneran!”
Kami pun ke lapangan tanpa Shinta, ketua kelompok kami.

* * *
Keesokan harinya, sirine alarm berbunyi berulang kali dengan sangat kencang membuat mataku terpaksa membuka. Sambil mengucek mata aku melihat jam. Hah?!?baru Jam dua? Kenapa udah di bangunin? batinku. Suara gedebrak-gedebruk meriuhkan suasana, aku terbangun dan tertawa sendiri melihat mukena yang kukenakan. Tanpa ambil pusing aku langsung membangunkan yang lain.
Ternyata dini hari ini kami akan diuji nyali ke kuburan. Menakutkan bukan? Katanya kalau belum diuji nyali, bukan kemah namanya dan belum afdhol. Satu kelompok hanya boleh membawa satu senter, dan hanya boleh dipegang oleh ketua regu. Jalan pertama yang kami lewati adalah petakan sawah yang licin serta gelap. Penerangan satu-satunya hanya senter yang berada di depan. Cahaya yang sedikit membuat kami kesulitan untuk melihat jalan.
Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Di depan kami sudah ada kelompok lain yang berkumpul. Setiap giliran terdiri dari tiga kelompok yang akan berpetualang di kuburan. Tubuhku bergetar sangat kencang dan sangat deg-degan. Kami pun mendengar jeritan histeris anak perempuan dari dalam.
“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa denganku,” kataku berulang kali mencoba menenangkan diri.
“Tenang aja! Di dalam ada yang jagain kok,” jawab Wanda santai.
“Siapa?” tanyaku takut-takut.
“Makhluk gaib!” jawabnya sambil sedikit bercanda.
“A..a..a.. jangan nakut-nakutin!” kataku pasrah. Tanganku langsung memeluk punggung Wanda.
“Ih, apaan sih? Santai aja,” katanya sambil berusaha melepaskan tanganku.
“Ya, ya,jawabku menenangkan diri.
“Bukannya dalam Islam tidak boleh percaya dengan hal- hal yang mistis ya? ” tanyaku. Wanda hanya menggangkat bahu.
Tau deh.
Waktunya kelompok Evergreen masuk. Kami masuk bersama dua kelompok lainnya beserta dua kakak pembimbing yang memandu kami. Sebelum masuk kami harus minta izin dulu kepada arwah disana. Tapi aku tidak mau karena ingat pesan papa yang pernah bercerita kalau melakukannya berarti musyrik. Aku terus berjalan pelan-pelan sambil berdo’a, berdzikir dan membaca ayat kursi.
Tiba-tiba aku tidak mendengar lagi suara derap kaki yang lain. Aku kehilangan jejak! Sekarang aku sendirian. Aku tidak tahu ada dimana dan mau kemana. Aku tidak melihat sinar dimanapun. Tubuhku menggigil, lututku lemas dan rasanya ingin pingsan. Tapi nanti siapa yang akan menolongku kalau pingsan? Jadi aku memberanikan diri mengikuti jalan setapak ke arah depan. Tiba-tiba badanku menabrak sesuatu. Aku terjatuh, saat aku bangun, aku melihat sosok bayangan di seberang. Sosok itu tinggi besar dan berambut panjang.
“Aaaaaa...........!” Aku berteriak.
Aku terus berlari. Dan Alhamdulillah, aku melihat sinar dari kejauhan. Tanpa berpikir panjang aku berlari ke arah sinar itu tanpa peduli apapun di depanku dan benda apa yang kutabrak. Akhirnya aku berhasil sampai dengan selamat.
“Hah.... hah...” Nafasku ngos-ngosan. Aku melihat banyak orang disini.
“Untunglah, kau selamat! Mana teman-teman mu yang lain?”
Aku menggeleng. Mereka juga hilang? tanyaku. Untunglah aku selamat, tapi temanku yang lain belum ketemu. Aku beristirahat di tenda dengan kakak pramuka.
“Kak, memangnya ada apa dengan kelompok kami?”
“Kelompok kamu terpisah dari rombongan, dan kalian hilang entah kemana. Sekarang kami sedang mencari kalian dari arah masuk, dan kami juga mendirikan beberapa  pos di pinggir hutan dengan lampu yang terang. Dengan begitu teman-teman kamu bisa melihat kami,” terangnya.
“Ada yang datang lagi!” teriak bapak-bapak dengan suara yang sangat kencang dari luar tenda.
Aku menarik badanku yang tidur dan melihat ke arah luar. Muncullah dua orang anak dari kegelapan dengan baju yang sangat lusuh.
“Rere........!” Mereka berlari ke arahku. Kami pun berpelukan.
“Aku takut banget!” Kami berpelukan erat sambil meluapkan rasa kesedihan dan keharuan kami karena bisa bertemu kembali.
“Aku juga. Tenang, kita sudah selamat!” kataku sambil menangis terharu.
Kami melanjutakan keluh kesah kami di tenda dan bercerita tentang pengalaman luar biasa yang baru saja kami alami. Saat kami keluar, seseorang menyerbu kami.
“Nanda......!” teriak kami terkejut saat melihat Nanda yang menangis histeris dan ketakutan luar biasa. Lagi-lagi kami berpelukan. Dia masih trauma dengan kejadian yang ia alami dan belum mau berbicara dengan siapapun. Jadi kami memutuskan untuk membiarkannya sendiri agar dia bisa menenangkan diri dan mengeluarkan segala amarah serta emosinya. Kami sudah berkumpul, tapi masih ada yang kurang dari kami satu personil lagi belum di temukan, yaitu Shinta sang ketua kelompok.
“Gimana kalau kita jadi sukarelawan buat cari Shinta?” ajak Wanda.
“Oke,” jawabku dan Fira setuju. Meski Shinta sudah jahat dengan kami, kami tetap ingin segera menemukannya.
Kami memulai pencarian dengan senter yang sangat besar bersama para sukarelawan lainnya. Melewati semak belukar dan kuburan di samping kanan dan kiri. Kami melangkah pelan-pelan tapi pasti.
“Shintaaaaa.” Kami berteriak memanggil nama itu berulang kali sambil menyinari sekeliling kami dengan senter. Kami terus bejalan sambil memberi cahaya l merah dari senter yang terang untuk memberi tanda kalau ada orang.
Setelah satu jam pencarian mengelilingi hutan, seorang sukarelawan memberi angin segar.
“Eh, lihat, disana ada anak perempuan!” seru Wanda kepada Fira yang memegang senter. Fira langsung menyoroti sosok itu, terlihat seorang anak perempuan yang sedang memeluk dengkulnya dan bersandar di pohon besar di samping kuburan. Kita memberi isyarat berulang kali kepada orang itu, tapi dia tak bergerak sama sekali.
“Mungkin dia bukan orang! Udah yuk ke arah lain aja” kataku yang mulai ketakutan.
“Jangan, kita liat dulu. Siapa tahu memang orang, aku masih penasaran,” ujar Wanda yang masih berpikiran positif meski takut.
Aku sudah gemeteran, tapi kami tetap berjalan ke arahnya dengan sangat hati-hati. Saat jarak kami sudah hampir dekat, terdengar isak tangis yang sangat jelas di telingaku.
“Balik aja, yuk!” pintaku lagi.
Jangan!” kata Wanda si pemberani dengan tegas.
Suara itu makin jelas, tapi ketika kami semakin mendekat, seketika suara itu hilang.
Tuh, kan!” bisikku menggoyangkan Wanda. Dia tetap tidak memerdulikanku. Fira juga memeggang senter dengan sangat gemetar sambil terus menyoroti anak itu. Anak itu mulai menggangkat kepala.
“Shinta...!” Kami kaget melihatnya. Mukanya sangat pucat dan badannya sangat dingin.
“Ayo, bantu angkat!” seru Wanda. Aku meniup pluit berulang kali untuk memberi tanda bahwa kami butuh bantuan. Seketika segerombolan orang datang. Kami membawa Shinta ke tenda dan mengistirahatkannya.
Dia belum sadarkan diri sejak tiba di tenda. Kami sekelompok masih menunggu di sampingnya berjaga-jaga kalau dia terbangun.
“Hmmm...” Dia mulai mengeluarkan suara.
“Aku di mana?” lanjutnya dengan nada yang sangat lemas.
“Tenang! Kamu ada di tenda,” jawabku.
Dia sangat lemas, jadi ia tertidur lagi.
Sampai siang hari barulah ia siuman dan mau makan. Kami mengobrol- ngobrol dengan santai tentang kejadian tadi, bercanda dan tertawa sepuas mungkin seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
“Teman-teman, maafin aku ya kalau selama ini aku punya salah sama kalian. Kesalahan terbesar yang nggak akan penah dimaafkan. Aku udah menilai kalian yang jelek-jelek, sekali lagi tolong maafin aku yang bodoh ini,” kata Shinta.
“Dan aku mengucapkan terima kasih banyak, buat kalian yang udah nyelamatin aku dari kegelapan. Aku nggak tau mau minta tolong siapa dan nggak tau mau kemana. Tapi Alhamdulillah allah mempertemukanku dengan kalian,” lanjutnya dengan tutur kata yang berbeda dari sebelumnya.
Nggak apa-pa kok Shin. Sebelum kamu meminta maaf, kita juga udah maafin kamu kok. Kita tahu kamu pasti akan berubah,jawab Wanda sambil tersenyum
Seorang Shinta yang sangat kasar dan judes menjadi sosok yang sangat baik, ramah serta suka tersenyum. Aku sangat suka dengan kelompok kami yang sudah mulai akrab.
“Jadi, Kita bukan musuh kamu lagi dong?” goda ku.
Shinta menggeleng,
“Tidak! Kalian adalah teman terbaik yang pernah aku punya, dan aku janji kita akan terus bersama sampai kapanpun,” ucapnya degan nada senang. Kami pun berpelukan bersama.
Semenjak kejadian itu, tidak ada lagi kata sombong, judes, kasar atau apapun yang menempel pada diri Shinta. Dia dikenal sebagai anak yang baik, cantik, pintar dan ramah serta banyak orang yang menyukainya. Semenjak kejadian itu, kita juga menjadi lima sahabat yang tidak pernah saling membenci dan selalu bersama baik di kala sedih maupun senang.
* * *


Komentar

Popular Post